Juli 23, 2010

Masyarakat Madani

A. Pendahuluan

Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC. Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Qur’an dan Hadits. Civil society yang lahir di Barat diislamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.

B. Pembahasan

1. Pengertian
Wacana masyarakat madani di Indonesi memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya.
Untuk pertama kalinya istilah masyarakat madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat madani mempunyai ciri–ciri yang khas : kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai. Lebih lanjut Ibrahim menegaskan bahwa karakter masyarakat madani ini merupakan “guiding ideas”, meminjam istilah Malik Bennabi, dalam melaksanakan ide – ide yang mendasari masyarakat madani, yaitu prinsip moral keadilan, kesamaan, musyawarah, dan domokrasi.
Sejalan dengan gagasan di atas, Dawam Rahardjo mendifinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai–nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga Negara bekerjasama membangun ikatan social, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nonnegara. Sejalan dengan ide – ide di atas menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan ber-tamadun(civility). Menurut cendikiawan muslim Nurcholish Majid, makna masyarakat madani berasal dari kata civility yang mengandung makna toleransi kesediaan pribadi – pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku social.

2. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society)
Konsep pemikiran masyarakat madani memiliki sejarah yang panjang dalam pembentukannya. Dalam hal ini terdapat 5 (lima) fase sejarah pemikiran Masyarakat madani.

Fase Pertama adalah filsuf yunani Aristoteles ( 384 – 322 SM ) yang memandang civil society (masyarakat sipil) sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan Negara itu sendiri. Pandangan Aristoteles ini selanjutnya dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), John Locke (1632 – 1704 M), dan tokoh - tokoh pemikir masyarakat sipil lainnya.
Pada masa aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike , yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi - politik dan pengambilan keputusan.
Berbeda dengan arisoteles, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), mengistilahkan masyarakat sipil dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Konsep ini lebih menekankan kepada konsep Negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai satu kesatuan yang terorganisasi.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704 M), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang alamiah (natural society ) . Menurut Hobbes sebagai entitas Negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi ( perilaku politik ) setiap warga negara.
Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifat yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya.
Fase Kedua pada tahun 1767 adam ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks social politik di skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, ferguson lebih menekakan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industry dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Menurutnya, ketimpangan social akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme.
Fase Ketiga berbeda dengan pemdahulunya, pada tahun 17912 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalh keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut pemikiran ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuassan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna suatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Dengan demikian menurutnya, civil society adalah ruang dimana negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemusan kepentingan secara bebas tanpa paksaan. Ruangg gerak warga sipil, dalam pandangan Paine, adalah suatu ruang gerak masyarakat tanpa ada intervensi negara.
Fase Keempat wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1837 M) dan Antonio Gramsci (1873-1891 M). dalam pandangan ketiganya civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society merupakan kelompok subordinatif dalam negara. Pandangan ini menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangannya melepaskan diri dari cengkraman dominasi negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwadalam struktur civil society terdapat 3 (tiga) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Dan menurutnya, bahwa masyarakat sipil memiliki kelemahan yang identik. Pada kenyataannya ia tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa dukungan keteraturan politik dan tunduk pada institusi yang lebih tinggi yang bernama negara.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Dan menurutnya, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Lain pendapat dengan Marx, Antonio Gramsci tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, Gramsci meletakannya pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut political society.
Fase Kelima wacana civil society sebagai reaksi atas mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang negara. Menurutnya, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang data menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Berbeda dari pandangan Hegelian, Tucqueville lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinari dari lembaga negara. Sebaliknya, civil society adalah otonom dan memiliki kapasitas polik yang cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan, pandangan civil society ala Tucqueville ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanyaberorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga mempunyai komitmen terhadap kepentingan publik.
Dari sejumlah model dan pandangan tentang civil society, mazhab Gramscian dan Tocquevillian telah menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa Timur dan Eropa Tengah pada dasawaesa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup di bawah dominasi negara terbukti telah melumpuhkan kehidupan social masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society kemudian mewabah menjadi sebuah landasan ideologis untuk perjuangan kelompok demokrasi di belahan dunia yang lain untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya krearivitas dan kemandirian masyarakat.
Tidak hanya menginspirasikan gerakan demokrasi di Eropa Tengah dan Eropa Timur, mazhab pemikiran civil society Tocqueville juga dikembangkan oleh cendekiawan muslim Indonesia M. Dawam Rahardjo dengan konsep masyarakat madaninya. Mengelaborasikan bahwa peranan pasar (market) sangat menentukan unsur – unsur dalam masyarakat madani (negara dan hubungan social yang bersifat sukarela/voluntary) (model A). berbeda dengan pandangan ini, menurut Wuthnow, dalam hubungan antar-unsur pokok masyarakat madani, factor voluntary sangat menentukan pola interaksi antara negara dan pasar, sebagaimana yang diilustrasikan dua model di bawah ini :

A. Model Tiga Komponen








B. Hubungan antara Komponen

Voluntary


State Market

Note :
The Essence of State Coercion
Private Sector Market Mechanism for profit
Voluntary Sectors Voluntary, Non-profit, Non-coercive


Selain kedua model di atas, pola hubungan kerja antara negara (pemerintahan), masyarakat madani (civil society), dan swasta (pasar) berada dalam kerangka keseimbangan peran masing-masing. Dengan pola hubungan kerja tersebut, rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi, dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian jelas sekali, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tahta kepemerintahannya dimana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan masyarakat madani.
Seperti dikatakan di muka bahwa tata kepemerintahan yang baik itu, merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yang mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat yakni pemerintahan, rakyat, dan usahawan yang berada di sektor swasta.
Dalam tatanan kepemerintahan yang demokratis, komponen rakyat yang disebut masyarakat madani harus memperoleh peran yang utama. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demikian juga peran pengusaha atau sector swasta sangat mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan dalam tata pemerintahan yang baik. Suatu ketika peran sector swasta bisa berada di atas apabila pembuat kebijakan berkolusi dan tergoda untuk memberikan akses yang longgar pada para usahawan swasta. Keadaan seperti ini memberikan warna yang jelas terhadap corak-corak dari system dan tata kepemerintahan yang kolusif dan nepotis. Kondisi sebaliknya juga bisa terjadi dimana negara berada di atas. Hal itu terjadi jika kekuasaan negara melebihi dari tataran keseimbangan antara tiga komponen tersebut. Maka yang terjadi adalah system sentralistis dan otokratis.
Agar suatu system dan tata cara dalam mekanisme kepemerintahan berada dalam posisi seimbang, selaras, kohesif, dan kongruen dimana peran rakyat sangat menentukan dapat terjadi, kedudukan komponen moral dalam konstelasi antara tiga komponen dalam kerangka masyarakat madani adalah berada di tengah-tengah yang dapat menghubungkan ketiga komponen tersebut. Seperti yang diperlihatkan pada gambar diatas ini.
Gambar di atas menunjukkan bahwa moral menghubungkan dan bertaut erat pada ketiga komponen yang saling berinteraksi menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Komponen moral menyinari ketiga komponen tersebut. Moral juga harus menjadi landasan bagi rakyat untuk berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Demikian pula pada sector lainnya. Peranan moral kepada tiga komponen dapat menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Dalam kerangka masyarakat madani tata kepemerintahan yang baik dapat dilihat pada gambar di bawah ini


C. Penutup

Setelah memperhatikan pendapat dan pandangan beberapa tokoh mengenai masyarakat madani atau lebih dikenal dengan sebutan civil society dapat kita simpulkan bahwa masyarakat madani adalah suatu sistem kehidupan sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Konsep ini telah dicontohkan Rasulullah SAW ketika beliau memimpin peradaban muslim di madinah. Tak hanya berkutat pada tataran konsep pemerintahan saja, tetapi juga sampai kepada konsep-konsep kehidupan bermasyarakat dengan menanamkan akhlaqul karimah sebagai fondasinya. Beliau juga telah mengajarkan untuk saling menghargai dan bertoleransi terhadap sesama makhluk Allah. Selanjutnya, beliau mencontohkan tentang hidup dalam sebuah payung keadilan. Sehingga, siapapun yang berada didalamnya akan merasa aman dan damai. Keseimbangan tatanan kehidupan masyarakat di sana (madinah) tercipta karena adanya kerjasama yang baik antara semua elemen masyarakat yang hidup di kota itu.
Itulah perwujudan masyarakat madani yang ditandai dengan karakteristik seperti, wilayah publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan, dan keadilan sosial. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan bukan atas dasar nafsu atau keinginan individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger news